DEBAT

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
DEBAT

tempat berdebat tentang apa saja, forum ini Independent dan tidak memihak.

Latest topics

» Kepada CP dan Vhee
Industrialisasi Religiusitas EmptySun Nov 13, 2011 8:16 pm by metalizer

» Allah tidak sama dengan Tuhan ?
Industrialisasi Religiusitas EmptySun Nov 13, 2011 8:02 pm by captain pancasila

» Benarkah Muhammad Pedofilia?
Industrialisasi Religiusitas EmptySun Nov 13, 2011 7:59 pm by captain pancasila

» Muhammad dan HA (metalizer VS JGA)
Industrialisasi Religiusitas EmptySun Nov 13, 2011 7:53 pm by captain pancasila

» Industrialisasi Religiusitas
Industrialisasi Religiusitas EmptySun Oct 23, 2011 4:21 pm by Admin

» Ring debat dan Ruang Suporter
Industrialisasi Religiusitas EmptyFri Oct 21, 2011 9:39 pm by Admin

» Allah tidak sama dengan Tuhan
Industrialisasi Religiusitas EmptyFri Oct 21, 2011 8:35 pm by Admin

» Benarkah Muhammad Pedofilia? (Islam VS Ali Sina)
Industrialisasi Religiusitas EmptyThu Jan 01, 1970 8:00 am by 

» Planet Nibiru?
Industrialisasi Religiusitas EmptyTue Oct 18, 2011 5:18 pm by Admin


    Industrialisasi Religiusitas

    avatar
    Admin
    Admin


    Jumlah posting : 9
    Join date : 2011-10-13

    Industrialisasi Religiusitas Empty Industrialisasi Religiusitas

    Post  Admin Sun Oct 23, 2011 4:21 pm



    Sistem kapitalisme memang menjadi tema yang selalu memancing kontroversi jika dibahas. Disatu sisi dihujat habis namun disisi lain banyak diantara kita yang adaptif terhadap pola kapitalis ini. Masalah utama pada sistem ini sebenarnya adalah kesiapan dari para pelaku itu sendiri. Bagi yang sudah siap akan pola ini tentu saja akan adaptif dan mempersiapkan diri untuk tetap eksis dalam perkembangannya. Sedangkan bagi yang kurang siap tentu saja akan berusaha mempertahankan status quo-nya dengan berbagai dalih dan alasan untuk menghambatnya. Sebenarnya tidak ada satu sistem (ekonomi) pun di dunia ini yang sepenuhnya jelek ataupun sepenuhnya baik. Semua sistem mempunyai titik lemah disaat para pelakunya tidak konsisten atau melabrak sisi-sisi lain yang bersifat kebebasan bersaing dan keadilan.

    Dengan tidak membahas lebih lanjut mengenai apa itu kapitalisme. Penulis hanya ingin menyemburatkan sedikit wacana yang tentu saja terkait dengan itu. Yaitu industri dan religi. Industri merupakan suatu tema yang sangat berkaitan dengan kapitalisme bahkan menjadi lambang dari kapitalisme itu sendiri. Sedangkan religi seringkali menjadi sosok yang seringkali digunakan untuk setengah mati menghambat laju kapitalisme. Yang tentu saja dalihnya mengenai anti penindasan serta memperjuangkan keadilan.

    Mau tidak mau atau siap dan tidak siap, industrialisasi merupakan tahap yang niscaya harus ditempuh seiring perkembangan jaman dan modernisasi. Baik menerapkan sistem kapitalis ataupun tidak industrialisasi lambat laun pasti akan ditempuh juga. Meskipun demikian sistem apapun yang dijalankan suatu negara dalam menggarap ekonominya selayaknya mempertimbangkan substansi kekekalan yaitu keadilan, persaingan bebas dan pemerataan. Itu mungkin yang menjadi kesulitan laten. Sekali lagi, bukan kapitalismenya yang sepenuhnya buruk namun penerapan dan improvisasinyalah yang seringkali kurang. Sehingga seringkali yang muncul adalah sisi penindasan, ketidakadilan dan kesan si kuat yang memakan si lemahnya lah yang mengemuka. Tak ayal lagi, pemegang kekuasaan/pemerintah lah yang seharusnya menjadi katalisator saat sebuah sistem kebablasan karena bocor di titik-titik lemahnya.

    Para kaum religius seringkali menjadi corong utama penentang kapitalis ini dengan senjata propaganda nilai-nilai agama dan keimanan yang seringkali memiliki standar berbeda. Para pelaku religiusitas seringkali menyeruakkan penentangannya terhadap prinsip kapitalisme serta liberalisme yang memang sedikit berhubungan darah. Bahkan lumayan parah adalah banyak pelaku religiusitas ini memaksakan pemikirannya menentang pluralisme yang dianggapnya sebagai rangkaian dari kapitalisme ataupun liberalisme itu. Namun sadar atau tidak. Sebenarnya yang menjadi ketakutan para pelaku religiusitas ini adalah kekuatiran akan tereliminirnya mereka dalam percaturan global. Serta terancamnya eksistensi mereka. Ini mungkin akan banyak dipungkiri karena dari sisi prinsip keimanan yang di “jual” nya akan menganggap tabu pengakuan itu. Gejala yang seringkali mengemuka adalah para pelaku religiusitas itu ternyata berupaya membendung laju kapitalisme dengan cara sama yang dilakukan kaum kapitalis itu sendiri. Mereka memandang apa yang menjadi keberhasilannya secara kuantitas mampu membendung laju kapitalis. Padahal sebenarnya para pelaku religiusitas ini telah menjadi bagian dari kaum kapitalis. Tentu saja hal ini lumayan memprihatinkan. Mengingat sebenarnya industri dan religi adalah suatu hal yang seharusnya dipisahkan. Menjadi salah kaprah ketika penggiat religi yang kuatir terlibas kapitalis ini justru mengadopsi cara-cara kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya. Tak perlu dipungkiri bahwa sudah menggejala bahwa para kaum yang mengaku religius justru menjadi pelaku atau marketer kapitalis itu sendiri dengan komoditas yang seharusnya layak dipisahkan yaitu komoditas spiritualitas atau religius yaitu yang populer disebut “agama”.

    Penulis kurang mengetahui pasti sejak kapan agama ataupun isu agama menjadi komoditas yang paling menarik dan laku untuk dijual. Namun kenyataan itu ada. Bukan jumlah yang kecil perputaran modal atau uang yang mengalir di bisnis agama ini. Tentu saja bukan bermaksud mengecilkan pihak yang telah memisahkan secara nyata konteks beragama dan berbisnis ini. Namun perlu untuk dijadikan bahan interospeksi bagi kita semua. Mau tidak mau kita harus menyadari dimana posisi kita dalam berada. Sudahkah kita menempatkan posisi keimanan kita sebagai sebuah ruang khusus disamping kita berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Lebih sederhana dari sisi duniawi adalah apakah kita mencari makan dengan berjualan agama atau agama adalah “makanan” khusus jiwa kita setelah berjuang mencari makan?

    Bukan menjadi hal usang yang perlu kita tutup-tutupi bahwa agama bisa menjadi sarana empuk naluri kapitalis kita untuk mencari makan. Untuk lebih mengerucut ke fokus bahasan. Tidak salah jika penulis terlebih dahulu mencari kambing hitam. Anggap sajalah kambing hitam itu sendiri adalah “oknum”. Oknum disini adalah pihak yang sangat gemar menggunakan kedok religiusitasnya untuk memanfaatkan pangsa pasar konsumen beriman ataupun yang ingin dianggap sebagai orang beriman. Langkah-langkah yang mereka lakukan tentu saja adalah menjaga pangsa pasarnya agar tetap besar bahkan semakin besar.

    Memang seperti sebuah lingkaran yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Namun kita layak untuk membuka mata dan mempermaklumkannya bahwa perputaran uang dalam bisnis-bisnis dengan komoditas agama ini tidaklah kecil. Untuk negeri kita ini saja dapat dilihat betapa besarnya uang yang berputar tiap pelaksanaan ibadah haji. Jika ongkos naik haji (ONH) katakanlah saja 10 juta rupiah per orang. Dengan asumsi 90% rakyat Indonesia yang mayoritas muslim katakanlah sekitar 200 juta orang. Jika dari 200 juta orang itu 20% nya menjalankan ibadah haji, maka pangsa pasarnya adalah sekitar 40 juta orang. Jika dikalikan dengan ONH 10 juta per orang maka rupiah yang berputar adalah Rp. 400.000.000.000.000,00 (kalau tidak salah eja, angka ini adalah 400 trilyun). Jumlah yang sangat besar tentu saja. Itu dari satu kali proyek naik haji. Belum lagi terkait ibadah umroh. Belum lagi terkait ritual yang tampak mata seperti tren wanita menggunakan jilbab. Bukan rahasia lagi jika harga jilbab yang rata-rata digunakan wanita muslim, terutama di kota-kota besar bisa berkisar antara 200 ribu sampai dengan jutaan rupiah. Penerbitan buku-buku Islami diyakini juga mampu meraih pendapatan besar, apalagi yang mampu mempropagandakan sisi “kehebatan” agama mayoritas di Indonesia ini, terlebih yang kontroversi dengan mendiskreditkan umat lain yang dianggap bukan pangsa pasarnya. Kita pasti tahu bahwa para ustad ataupun ustadzah yang tenar honor ceramahnya mampu membuat mereka hidup wah dan berkecukupan. Bahkan mengalahkan penghasilan para artis ataupun selebriti. Tak salah jika banyak yang terobsesi untuk menjadikan kegiatan ini sebagai profesi. Bahkan kontes-kontesan anak-anak untuk menjadi penceramah agama pun menjadi acara yang banyak digemari. Mungkin dengan harapan anak-anak mereka nanti mampu menjadi ustad terkenal dengan honor selangit. Itu hanya contoh sebagian dan tentu saja bukan hanya dikalangan muslim saja di Indonesia ini yang batas tipis ketulusan pribadi mendapatkan “makanan” dari agama atau terjebak mencari makan dari agama itu sendiri. Di kalangan nasrani pun tak perlu ditutupi bahwa masih ada saja yang mencari penghasilan dari perputaran industri musik ataupun lagu rohani. Demikian juga pernak-pernik ibadah seperti kayu salib, lilin dan lain-lain. Demikian juga penganut-penganut iman lain di Indonesia, saya yakini situasi terjebak dalam pusaran kapitalisme ini nyata ada. Tak lupa saya sampaikan bahwa contoh-contoh diatas bukanlah untuk memojokkan Islam, namun karena memang dalam pengamatan penulis dan mungkin karena di Indonesia ini umat mayoritas dari sisi kuantitas adalah Islam dengan segala ritual yang duketahui khalayak umum, maka tak salah kiranya jika contoh itu akan lebih mudah dilihat.

    Wajar saja jika oknum-oknum semacam ini akan sangat ketakutan terhadap perkembangan umat lain yang “mengancam” pangsa pasar mereka. Karena di saat mereka merasakan bahwa pangsa pasarnya semakin berkurang maka akan terancam pula periuk nasinya. Terncam pula bisnisnya. Terancam pula sisi kapitalnya.

    Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud mengajak pihak religius menjadi tidak religius ataupun menjadikan mereka kapitalis. Meskipun kadar religiusitas tidak dapat dilihat secara kasat mata. Namun saat religiusitas para individu berkurang atau menurun secara signifikan maka bisa dibayangkan potensi “kerugian” secara ekonomi terhadap pihak yang terlanjur mencari makan dari Industri Religi ini.

    Industri dan Religi sejatinya dapat berjalan seiring dan menemukan titik kesepahamannya. Yaitu saat para individu mampu menemukan batas yang tegas sisi melaksanakan dorongan religiusnya dan sisi penghidupan dunianya (Industri/bisnis). Tentu saja tak salah kita berbisnis dalam komoditas agama. Namun jangan sampai jebakan untuk menjadikan agama lebih ditonjolkan sebagai komoditas saja itulah yang harus diwaspadai. Jika kita mampu memisahkan secara tegas sisi religiusitas dan spiritualitas kita sebagai “sesuatu” yang special bagi diri kita dan jiwa kita. Maka kita tidak akan ketakutan terhadap kemungkinan ataupun secara frontal “ancaman” berkurangnya komunitas yang seragam dalam selera beragama dan berkeyakinannya. Bukankaha jika hanya 1 (satu) orang saja penganut iman tetap saja bisa beribadah? Sedangkan dari sisi Industri akan lebih nyata peranannya. Yakni ketika semakin religius konsumen-nya, tak peduli apapun yang mayoritas atau minoritas. Sisi ekonomis dari umat religius ini dapat tetap menjadi pangsa pasar. Maka itu agar pangsa pasar tetap terjaga sebaiknya jangan menggunakan trik dan propaganda tidak etis. Karena umat religius dari kepercayaan apapun dapat dijadikan sarana untuk berbisnis. Dan apapun kepercayaan religius si pebisnis tetap akan dapat berbisnis dari religiusitas meski dia tidak mengimaninya.

    Jika umat dapat memisahkan dengan baik sisi reli dan industri maka banyak hal yang dapat dipetik. Kualitas religiusitas yang meningkat serta perekonomian berbasis religipun akan mengiringinya. Yang harap diingat adalah jangan sampai salah satu saling menguasai. Industrialisasi Religiusitas akan mengeliminir substansi religi itu sendiri.Mungkin akan menjadi harapan ke depan jika perpaduan keduanya menjadikan Industri menjadi lebih religius. Yakni persaingan bebas yang tetap beretika, mengedepankan keadilan, kemakmuran bersama, yang kuat membantu dan melindungi yang lemah dan pemerataan kemakmuran akan terwujud bersama spiritualitas yang terjaga. Dan untuk hal yang mungkin muluk namun sejatinya dapat tercipta ini, pihak regulator/pemerintah diyakini sangat ditunggu peranannya. Semoga.

    Ditulis oleh Chris Suryohadiprodjo.

    http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/10/03/industrialisasi-religiusitas/

      Current date/time is Fri Apr 26, 2024 5:40 pm